HASIL GUA NGEBLOG DAN SEDIKIT PERCAMPURAN BLOG LAIN

Jumat, 09 November 2012

Tikungan Jalan Atau Lingkaran Setan



Pada awalnya, tikungan di komplek kami itu hanyalah sebuah tikungan biasa yang berada pada sebuah jalan yang juga biasa. Namun lama-kelamaan tikungan itu membuat warga kesal juga. Mereka harus ekstra waspada saat melewati tikungan itu. Bagi yang mengendarai sepeda, motor, atau mobil dengan terburu-buru pastilah akan mengalami celaka. Dan sekarang ini, tak ada manusia yang tak terburu-buru. Semuanya terburu-buru. Seakan dihantui oleh waktu.

Jalan yang membentang pada tikungan itu sebenarnya tidaklah terlalu sempit, bahkan terhitung cukup lebar untuk dilalui dua buah mobil bersamaan. Namun sudutnya yang lumayan tajam, ditambah lagi yang sekarang membuat tikungan itu semakin meresahkan: sebuah pohon sawo yang tumbuh tepat di sudut dalam tikungan, membuat pandangan terhalang nyaris sepenuhnya. Apalagi ya, itu, buat mereka yang sedang (atau senang) terburu-buru. Makin parahlah kondisi tikungan itu.



Truk-truk pengangkut pasir yang masuk komplek karena ada warga yang sedang merenovasi rumah juga kerap menumpahkan angkutannya di tikungan itu. Tidak banyak, tapi kalau setiap saat ada pasir yang tumpah di sana, lama-lama menutupi permukaan jalan juga. Dan lagi-lagi, menambah tingkat bahaya tikungan itu. Kecuali mobil, sepeda maupun motor sangat mungkin tergelincir dan jatuh saat melewati tikungan berpasir itu.

Anak-anak pasar, ya, anak-anak pasar yang begundal itu juga membuat tikungan berpohon sawo dan berpasir itu menjadi semakin jauh berbahaya lagi. Mereka gemar sekali masuk komplek untuk berenang di sungai atau menunggu durian atau sekadar keliling-keliling komplek dengan mengendarai motornya secara ugal-ugalan. Padahal mereka sudah seringkali diperingati oleh warga komplek. Tapi dasar anak-anak pasar, tidak tahu bahasa Indonesia. Maunya pakai bahasa preman.

Ketika itulah, Pak Darbi, salah satu warga komplek kami habis-habisan mengomeli bahkan sampai memukul salah satu dari gerombolan anak pasar yang nakalnya minta ampun itu. Mereka menyenggol anak perempuan Pak Darbi yang saat itu sedang bermain dan diberi makan oleh ibunya di sekitar tikungan itu. Pak Darbi memarahi anak-anak pasar itu karena tidak hati-hati saat melewati tikungan. Dan yang dimarahi balik menuduh kalau istri dan anak Pak Darbi lah yang salah tempat. Sudah tahu tikungan itu tempat kendaraan lalu-lalang dan lumayan rawan, masih juga berada di sekitar situ.

Nyaris terjadi bentrok fisik, (anak-anak pasar tak takut melawan orang yang lebih dewasa) akhirnya pak RT turun tangan dan melerai perselisihan antara Pak Darbi dan anak-anak pasar. Pak RT menasehati anak-anak pasar itu untuk tidak ugal-ugalan kalau berkendara motor dalam komplek sebab mengganggu kenyamanan warga kompleknya. Yang diberi nasehat hanya memasang muka kusut dan langsung menaiki motor mereka lalu beranjak keluat komplek.

Malamnya, atas usulan Pak Darbi, warga berkumpul di musholla komplek untuk membicarakan perihal anak-anak pasar yang semakin hari semakin mengusik ketentraman warga. Perbincangan mengarah juga ke tikungan yang berbahaya itu. Pak Darbi mengeluhkan tikungan tersebut, ditambah lagi kelakuan anak-anak pasar yang semrawut.

“Sudah tahu tikungan itu tajam, berpasir dan terhalau pohon pula, masih saja mereka naik motor sembarangan. Untung nasib anakku bagus jadi tak sempat celaka. Coba kalau anak bapak, ibu, atau bapak dan ibu sendiri, tengah berada di sekitar sana dan dihantam tiba-tiba oleh anak-anak begundal itu. Bagaimana pula, ha?!” geram Pak Darbi.

Oh, ya, satu yang terlupa, di sekitar tikungan tersebut memang ada sebuah taman. Setiap sore, anak-anak komplek sering bermain di sekitar sana. Main bola, kejar-kejaran, keliling-keliling naik sepeda, macam-macam. Maka Pak Darbi, dan sebenarnya warga yang lain juga, sangat khawatir anak-anak mereka sewaktu-waktu bisa celaka saat sedang bermain-main di sana.

Lalu, dengan desakan Pak Darbi dan pertimbangan usulan warga, Pak RT memutuskan untuk berbicara dengan warga di pasar supaya memberitahu anak-anak mereka untuk tidak masuk komplek lagi. Nyaris terjadi salah paham, pak RT buru-buru menjelaskan alasannya. Tidak mengapa anak-anak pasar masuk komplek, asal menggunakan sepeda saja dan tidak ugal-ugalan.

Pak RT dan warga pasar pun sepakat. Semenjak itu anak-anak pasar tidak pernah lagi mengendarai motor masuk ke dalam komplek.

Tapi kecelakaan yang dikhawatirkan ternyata tetap terjadi. Mobil kepala balai beradu kepala dengan mobil warga. Sebabnya karena pohon sawo yang daunnya tumbuh semakin rimbun dan menghalangi pandangan. Lengah sedikit maka kecelakaan pun tak terelakkan.

Setelah kejadian tersebut, atas kesepakatan bersama, warga akhirnya memutuskan untuk memangkas pohon sawo itu. Tidak cukup dengan memangkas, mereka menebangnya. Habis. Tidak ada lagi pohon sawo yang tumbuh di sudut dalam tikungan itu dan dengan begitu tidak ada lagi yang menghalangi pandangan orang saat berkendara melewati tikungan itu.

Namun yang terjadi ternyata tak seperti yang diharapkan. Kecelakaan masih saja terjadi. Kali ini menimpa sesama warga komplek. Yang satu mengendarai motor hendak keluar komplek, yang satunya lagi juga mengendarai motor namun dengan arah berlawanan. Mereka sama-sama mengaku saat itu sedang terburu-buru. Yang satu hendak bertemu rekanan, terburu-buru karena ia tertidur di rumah dan terlambat satu jam dari janji yang sebelumnya sudah ia sepakati bersama rekannya itu. Yang satu lagi, terburu-buru karena anaknya sedang sakit dan ia ingin segera sampai di rumah membawa obat untuk anaknya itu.

Lalu mereka sama-sama mengaku, mereka sebenarnya tidak terlalu ngebut ketika itu. Andai saja tidak ada pasir di tikungan itu, pasti sepeda motor mereka tidak akan goyang dan tergelincir hingga akhirnya mereka kehilangan kendali dan bertabrakan.

Pasir, adalah masalah berikutnya yang harus disingkirkan.

Warga pun membersihkan tikungan itu dari pasir yang kerap tumpah dari truk-truk pengangkut pasir yang belakangan sering keluar-masuk komplek. Mereka menyuruh truk-truk pengangkut pasir itu melewati jalan lain untuk masuk ke dalam komplek. Tidak boleh melewati tikungan itu sebab pasir bisa tumpah lagi di sana dan membahayakan jiwa warga.

Tikungan sudah bersih dari pasir. Truk-truk pengangkut pasir tak lagi masuk ke dalam kompleks melewati tikungan itu.

Akan tetapi, olala, kecelakaan tak jua berhenti.

Semenjak itu, kami menyadari, ada yang salah dengan tikungan ini.


***


Sementara, Sesuatu sedang melihat tikungan itu jauh dari atas sana-tikungan itu membentuk sebuah senyuman. Sebenarnya, sudah lama tikungan itu tersenyum. Bahkan sejak pertama ia berada di sana. Dan sekarang, senyumnya semakin lebar saja.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar