Aku dan logika
tak pernah terpisah. Nyaris dua puluh tahun aku berjasad dan ber-ruh, logika
tak pernah sedikitpun bergeser letak dariku. Nyaris selama itu pula logika
selalu membantuku, bermain-main dalam jasad dan ruh-ku, tapi tak pernah
meninggalkanku barang sekerjap waktu sekalipun.
Ia berlari saat
aku terburu-buru mengejar waktu, tapi ia tidak ngos-ngosan. Ia membungkuk saat
aku tertekan dan terpuruk, tapi ia tidak sayu dan layu. Ia tegap saat aku
dilanda senang, tapi ia tidak melayang. Ia siaga saat aku mengernyitkan jidat
dan memicingkan mata jika ada seseorang yang dengan tidak sopannya
menyenggolku. Namun ia tidak berteriak. Itu logika ku. Logika yang begitu
kupuja sepenuh hidupku. Yang selalu tahu apa yang harus aku kerjakan ketika aku
sedang dilanda apapun. Yang tak pernah salah memberitahuku apa yang harus
kulakukan.
Begitu
bangganya aku dengan logika ku. Sampai aku heran sekali melihat orang yang
begitu mudahnya tersulut api amarah hanya karena wajahnya tiba-tiba ditampar
orang di jalan raya. Betapa gampangnya orang menangis mengharu-biru hanya
karena ditinggal wafat oleh sanak keluarganya. Betapa durjanya orang bermuram
kala tidak mendapat pekerjaan setelah seharian mendatangi berbagai lowongan.
Aku hanya heran di mana logika mereka. Tidakkah mereka juga punya logika, sama sepertiku. Tapi kenapa mereka tidak bertingkah sepertiku. Aku tidak pernah marah ketika orang mencaci-makiku, bahkan meludahiku tanpa alasan yang jelas sekalipun. Aku tidak pernah menangis tersedu-sedu ketika ayah dan ibuku pergi di depan mataku. Aku tidak pernah murung ketika seharian harus berjalan kaki keluar-masuk pintu tanpa mendapat hasil. Karena aku punya logika. Logika ku yang begitu kupuja. Logika ku yang selalu memberiku alasan kenapa semua itu terjadi. Logika yang selalu bisa membuat aku mengerti apa yang kulalui dan kuhadapi dalam hidupku.
- - o - -
Aku bangga dengan logika. Masih
bangga. Masih kupuja. Hingga aku bertemu dengan seorang wanita yang menyapaku
di dunia maya. Tidak pernah sekalipun kami bersua. Hanya perbincangan ringan
lewat kata-kata yang muncul di layar komputer saja. Aku sapa. Dia sapa. Sedikit
basa-basi, dan kamipun larut dalam canda tawa yang membuatku lupa dengan
logika.
Kadang aku ditemani dengan secangkir kopi hangat. Sambil berbincang-bincang dengan wanita di media. Dia juga begitu hangat menyapa dan berbicara kepadaku, seperti secangkir kopi yang setia menemaniku setiap aku bersua dengannya-tentu di ranah maya. Dia sungguh pandai membuatku terlena dalam tiap kata nya. Tidak ada yang membuatku begitu bersemangat melalui hari-hariku selain menghabiskan beberapa jam berbincang-bincang dengannya. Wanita itu selalu bisa membuatku tersenyum. Tak pernah kehabisan akal untuk membuatku tertawa terpingkal-pingkal. Hingga satu hari aku mendapat nilai C di salah satu mata kuliahku-yang membuatku merasa ingin langsung mendatangi dosen pengampunya dan mengacak-ngacak wajahnya yang menyebalkan, wanita itu bisa membuatku lupa bahwa indeks prestasiku jatuh gara-gara nilai mata kuliahku itu.
Aku memuja
wanita itu. Begitu bangganya aku dengan dia. Tidak ada yang membuatku begitu
gundah gulana kecuali sehari tak mendapatkan kabar darinya. Tidak ada yang
membuatku sangat gelisah dan merasa ingin mati saja, selain saat malam itu aku
membuatnya mengeluarkan air mata. Oh, tidak. Aku telah berbuat salah. Salah
yang sangat besar. Begitu besarnya hingga lebih baik aku dihukum dijadikan buta
saja oleh Tuhan, daripada aku harus melihat wanita itu memberikan wajah dengan
lelehan air mata.
Aku melihat air
mengalir dari kedua bola matanya yang bulat dan indah. Sedikit berkilau karena
basah oleh airmata, yang masih saja terus mengalir, sudah lewat beberapa belas
menit padahal. Ia terus saja mengeluarkan air mata. Aku harus apa. Aku harus
bagaimana. Apa yang harus aku lakukan agar wanita itu tidak mengeluarkan air
mata. Aku tidak bisa melihat ia seperti itu. Karena saat ia mengeluarkan air
mata ia tidak bisa tertawa ria. Ia tidak bisa membuatku tersenyum, apalagi
terpingkal-pingkal. Aku harus bagaimana.
Entah kenapa,
sejak itu logika ku jarang muncul. Aku cari-cari dia. Aku ingin sekali
bercerita tentang wanita yang kukenal lewat ranah maya. Aku ingin sekali
berbagi dengan logika. Karena memang aku tak pernah lupa menceritakan apapun
yang terjadi dalam hari-hariku kepada logika ku.
Aku ingin
bertanya pada logika apa yang harus kulakukan terhadap wanita itu. Karena aku
ingin wanita itu tidak meninggalkanku. Aku ingin wanita itu selalu menemaniku
berbincang-bincang kapanpun masih hidup waktu. Aku tak mau wanita itu berhenti
membuatku tertawa. Aku tak ingin dia pergi dari pikiranku. Aku tak ingin dia
mengeluarkan air mata.
Aku ingin minta
saran dari logika. Karena logika ku tak pernah salah. Ia selalu tahu apa yang
harus kulakukan.
- - o - -
Hari berganti. Logika ku belum juga
bisa kutemui. Aku gelisah. Semakin detik waktuku berlalu semakin resah. Aku
seperti linglung. Berjalan mondar-mandir tak tentu dalam kamarku yang ikut
murung. Aku bingung. Wanita itu masih mengeluarkan air mata, sementara logika
ku juga lenyap entah ke mana.
Aku letih. Aku
berbaring saja di kasurku yang sekarang jadi tak begitu nyaman. Mungkin karena
apa yang sedang aku alami sekarang, membuat setiap anggota badanku bertambah
beban.
Aku pejamkan
mata dengan beribu gundahku. Dalam pandanganku yang tak lagi memandang aku
masih mencari-cari logika. Kucari-cari ia dalam kelopak mataku yang sudah
mengatup menutup bola mataku. Aku bergumam, berharap logika muncul dan
berbaring di sebelahku. Karena aku begitu butuh ia sekarang. Sekarang juga. Aku
mau bertanya tentang apa yang kualami dengan wanita itu.
“Itu cinta.”
Aku tergagap.
Mataku membuka sekejap, mengernyitkan jidat dan memicingkan mata. Itu suara logika!
Logika datang. Ah, betapa senangnya aku. Kini aku bisa bercerita panjang lebar
dengannya. Aku bisa menceritakan tentang wanita itu kepadanya.
“Kau mau
bertanya tentang kau dan wanita itu kan? Kau sedang bingung kan?”
Aku mengangguk
cepat. Seperti yang kuduga. Logika selalu tahu apa yang aku alami. Tentu saja,
ia juga tahu apa yang harus aku lakukan terhadap apa yang aku alami tersebut.
Aku sekarang bersemangat, bersemangat untuk mendengar sarannya terhadap aku dan
wanita itu.
“Itu namanya
cinta, teman.”
Aku termangu.
Aku memandang logika dengan terheran. Aku belum pernah dengar itu.. ‘cinta’.
“Kau tahu
kenapa aku selalu tidak ada bersamamu, setiap kau bertemu dan berbincang
panjang-lebar dengan wanita itu?” Tanya logika, yang langsung menjawab pertanyaannya
sendiri tanpa menunggu aku mengeluarkan sepatah katapun dari bibirku yang
tiba-tiba jadi kelu. “..karena aku tau cinta akan datang padamu.”
Aku terdiam
saja. Memandang logika lekat-lekat seolah bertanya padanya, ‘kenapa?’.
“Oh ya aku
lupa”, logika menggaruk-garuk kepalanya dengan malas. “Kau belum pernah
melihatku bertemu dengan dia ya. Asal kau tahu saja, kami tidak begitu berteman
akrab. Aku tidak suka dengan cinta. Kau tahu, setiap kami berjumpa kami selalu
bertengkar. Jadi lebih baik aku pergi menyingkir saja darimu, sementara cinta
menemanimu.”
Aku memberikan
pandangan memelas pada logika. Ia tahu bahwa aku sedang bertanya padanya, ‘lalu
aku harus bagaimana?’.
“Jangan
bertanya padaku tentang cinta, teman. Aku sudah bilang aku tidak suka dia. Lagipula
kau tidak perlu aku untuk membahas soal cinta. Aku tidak bisa sekalipun
mengerti dia. Begitu juga dia, tidak pernah sedetikpun bisa mengerti aku.”
Jawab logika dengan nada ingin cepat-cepat menyudahi perbincangan ini.
Aku tertunduk.
Logika tidak pernah seperti ini padaku. Ia selalu tahu, dan selalu bisa
menolongku kapanpun aku butuh. Tapi kini ia jadi begini. Ia malas berurusan
denganku saat ini. Hanya karena ia tidak suka dengan cinta.
“Oh ya, satu
yang perlu kau ingat teman. Kau tidak perlu seperti itu karena aku
meninggalkanmu.” Kata Logika lagi. “.. karena cinta akan lebih sering
meninggalkanmu daripada aku.”
Lalu logika
pergi lagi dariku. Tanpa berbicara lagi, ia lenyap dalam sejuta rasa cemasku.
Dari
Kau, Dari Aku
entah
seberapa rumit kenangan bisa kau buat sebelum aku lupa bagaimana caranya
mengingat. aku tak bisa lagi melafalkan luka semenjak kau hapus seluruh langkah
di dadaku yang telah sedemikian dalam terpahat. tak ada yang begitu rahasia dan
membingungkan dari tiap rasa kecewa sebab kita sudah bersepakat akan membunuh
harapan masing-masing. dari yang terkecil. dari yang paling samar.
entah
seberapa sederhana perpisahan bisa aku jelaskan setelah kau ingat bagaimana
caranya melupakan. kau begitu fasih mengeja setiap kesalahan semenjak kita bertemu
untuk mempelajari apa saja yang pernah kutulis di hatimu. selalu ada yang
tersembunyi dan terlewat dari tiap perbincangan sebab kita tak pernah berjanji
untuk memahami masa lalu dan sejarah pilu masing-masing. dari yang pernah
terucap. dari yang masih tersimpan.