HASIL GUA NGEBLOG DAN SEDIKIT PERCAMPURAN BLOG LAIN

Sabtu, 09 Februari 2013

Lukisan Kali dan Pohon Tua


Berdiam dalam kamar yang gelap ini, membuatmu bisa merasakan kesunyian. Kau bahkan dapat meresapinya. Menemuinya dalam berbagai hal yang terjadi sepenangkapan indrawi. Terutama telinga. Sebab dalam kesunyian, sesungguhnya kau bisa mendengar hingar-bingar yang merdu. Seperti beberapa hal yang sering kau ceritakan kepadaku. Dan aku, tentu saja, mendengar ceritamu lewat kesunyian yang sama.



Suara Jangkrik

Kau senang sekali mendengarkan suara jangkrik. Setiap malam, kau seperti mendengar mereka sedang menggelar konser yang sangat ramai. Penontonnya, rombongan angin dan barisan ilalang. Paduan suara jangkrik-jangkrik itu mengambang di udara lalu mengalir, menyusup lewat celah jendela kamarmu. Apa yang mereka senandungkan setiap malam, tanyamu. Mereka menjawab, hanya dengan dendangan.

Dendang jangkrik di malam hari itu seakan membawakan kembali kepadamu, kenangan yang indah perihal kisah cinta masa lalu. Tentang seorang gadis. Seorang gadis belia yang datang kepadamu, membawakan sekeranjang jangkrik yang bernyanyi, merdu sekali. Sejak itu kau mulai suka berdiam sendiri di dalam kamar yang gelap, mendengarkan dengan khidmat suara jangkrik-jangkrik di luar.

Cinta yang hangat dan menyenangkan, kau mengingatnya demikian. Meski kau tak bisa menepis bahwa kisah itu adalah kisah yang membuatmu menjadi seperti sekarang. Sendiri. Putus asa.

Suara itu kian merdu di telingamu. Seperti keriangan angin yang berkesiur mencari kekasihnya. Kau memejamkan mata. Meresapi setiap nada. Sungguh, ini adalah rangkaian melodi yang paling indah yang pernah kau dengar. Seindah wajah gadis itu. Seindah suara yang meluncur dari bibir lembabnya.

Tapi lama-kelamaan- terutama di malam ini, malam yang kau yakini sebagai malam terakhirmu- suara jangkrik yang merdu itu berubah jadi lagu yang sumbang. Menyayat-sayat telinga dan membuat perasaan tak sedap. Terdengar seperti lagu pengantar kematian. Sedih dan muram. Kelam. Suram. Membuat kamarmu yang sudah tak berpenerangan itu terasa semakin gelap dan sempit. Menyusut dan menghimpit tubuh kurusmu.

Kau pun teringat lagi, kenangan itu. Kenangan akan kisah kasih yang ditentang. Cinta yang terlarang. Kau sebenarnya tak ingin mengingatnya. Tapi kau suka mendengarkan jangkrik-jangkrik itu, maka kau terpaksa berpapasan lagi dengan ingatan-ingatan yang lalu, yang memedihkan.

Kalau saja pertemuan itu tak terjadi, maka perpisahan ini pun tak perlu terjadi.

Kau ingin menutup jendela saja. Agar suara jangkrik itu terhalau.


Hujan Seharian

Sejak subuh tadi hingga malam ini hujan tak kunjung berhenti. Memang tak begitu deras, tapi membuat suasana menjadi kian sepi. Yang ada hanya suara hujan dan hujan. Kau jadi tak bisa keluar. Tapi kau memang tak ada kehendak untuk pergi. Kemana lagi tujuan bila kau sudah dekat dengan kematian? Hanya satu tempat terakhir. Dan hujan seakan mengerti.

Mereka sesungguhnya hendak mengantarmu.

Tak perlu, katamu. Tak ada yang bisa menemani kesedihan. Tak satupun. Kecuali kehangatan yang mengalir lewat ujung-ujung jemarimu saat tak sengaja ia, gadis itu, meletakkan telapak tangannya sangat dekat dengan telapak tanganmu. Dekat, tapi tak melekat, hanya bersentuhan sekejap. Sekejap, namun kehangatannya menjalar dengan cepat dari jemarimu, tanganmu, ke lehermu, dadamu, ke seluruh tubuhmu.

Apalagi saat gadis itu memalingkan wajahnya kepadamu. Menatapmu dengan sepasang matanya yang bulat dan berkaca-kaca. Saat ia tersenyum, kau merasa seperti ada kupu-kupu terbang di dalam perutmu. Dan saat ia mengucapkan namanya, kau tahu, itulah saat-saat paling membahagiakan dalam hidupmu.

Ketika itu hujan tak pernah turun. Langit senantiasa terang seperti kulit wajah gadis itu. Maka bila hari ini hujan tak kunjung berhenti. Kau tahu, inilah saatnya benar-benar mengakhiri bayangan dan kenangan menyakitkan itu.


Debur Kali

Di situlah tempat terakhir kali kau melihatnya. Di sebuah kali di belakang rumah. Kau tak tahu saat itu kau melihatnya sebagai mimpi atau kenyataan. Kau pun tak bisa membedakan. Yang jelas kau begitu bahagia. Sejak berhari-hari gadis itu pergi, kau bisa menemuinya lagi.

Kau bergegas menghampirinya. Suara debur kali itu menelan suaramu hingga gadis itu tak mendengar kau memanggilnya. Sesampainya di pinggir kali, kau mendekat kepadanya. Kau melihat wajah gadis itu begitu murung. Apa gerangan yang terjadi, batinmu.

“Kau seharusnya tak menemuiku.” kata gadis itu, tanpa menoleh kepadamu.

“Apa maksudmu? Kau yang memanggilku. Lewat suara debur kali ini.”

“KAU BODOH!!”

“Apa…….”

“Maaf..”

“Ada apa sebenarnya?”

“Kita tak boleh bertemu lagi.”

“Kenapa?”

“Aku harus kembali ke suamiku.”

“Tapi kenapa? Bukankah kau bahagia bersamaku? Seperti aku juga bahagia bersamamu.”

“Tidak, bahagia saja tidak cukup. Ini tidak benar. Kau tahu itu sedari awal.”

“Apa yang lebih benar dari kebahagiaan, Joan? Katakan padaku.”

“………”

“Katakan, Joan! Kau mencintaiku, bukan?!”

Gadis itu menoleh kepadamu. Kedua bolamatanya yang bulat telah basah.

“Aku mencintaimu.”

Ia lalu memelukmu. Erat sekali. Kau balas mendekapnya. Erat sekali. Debur kali menelan pelukanmu dan pelukannya, mengalirkan mereka hingga jauh. Kau dan gadis itu bagaikan dua arus kali yang berdebur suaranya sepanjang malam. Debur yang menenggelamkan perasaan kehilangan.

Semenjak itu, kau sering mendengar debur kali di belakang rumah, tak jauh dari kamarmu, seketika berubah menjadi suara gadis yang memanggil-manggil namamu. Kau menutup telinga. Ini suara yang paling tak ingin aku dengar, katamu.

“Pergilah! Pergilaaaahhh!!”


Daun-daun di Pohon Tua

Di permukaan kali itu, daun-daun sering jatuh. Daun-daun yang berasal dari sebatang pohon tua yang tumbuh di tepi tubuh kali itu. Entah kenapa- mungkin karena kesunyian kian pekat dan mendekap- kau bisa mendengar benturan daun-daun itu di tubuh kali. Kau bahkan bisa mendengar daun-daun itu mengucapkan sesuatu kepada pohon tua yang ditinggalkannya, juga kepada arus kali yang kelak akan membawanya, entah kemana, mungkin ke surga. Surga para daun yang gugur.

Daun-daun yang jatuh di kali itu, serupa dirimu. Tak kuat (atau tak ingin kuat?) lagi bertahan, lalu ingin menjatuhkan diri saja. Tapi kau tak tahu ingin menjatuhkan dirimu di mana. Mungkin kesunyian yang berdenging di telingamu bisa memberitahumu.

*

Dalam pejammu, kau melihat jangkrik-jangkrik itu, hujan yang tak kunjung berhenti, debur kali, dan sebatang pohon tua yang melepaskan daun-daun dari tubuhnya. Kau melihatnya menjadi satu, tertata rapi di atas sebuah kanvas. Seperti lukisan yang sangat indah namun tak terjelaskan. Seperti rasa perih dan kehilangan yang tersamar oleh cinta yang sebentar.

Dalam gelap dan sunyi, aku mendengar ceritamu. Aku tersenyum, saat kau bercerita kepadaku semua tentang aku. ***



akankah kita bertemu dalam ricik air kali
di belakang rumah, saat arusnya tak pernah
mengizinkan kita mengalir sebagai daun
yang jatuh dari pohon tua di sisi tubuhnya

akankah kita terjalin sebagai dua arus kali
yang berdebur suaranya sepanjang malam,
ketika derik jangkrik melarang kita bicara
dan pohon tua menjerat kita dengan belit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar