HASIL GUA NGEBLOG DAN SEDIKIT PERCAMPURAN BLOG LAIN

Rabu, 02 Januari 2013

Tembok Anjongan


Bari berhenti. Menarik napas, agak dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Sebelah tangannya memain-mainkan gas. Kedua matanya fokus memandang ke depan. Ke bentangan jalan raya yang sepi. Hanya ada dingin udara pagi dan sedikit kabut yang tampak menjadi tebal di tikungan agak jauh di hadapan. Ia melihat ke belakang sebentar, memastikan tak ada kendaraan yang akan lewat. Truk-truk pengangkut kayu bisa saja menghentikan aksinya kapanpun. Bahkan menghentikan nyawanya.

Ia menoleh lagi untuk terakhir kalinya. Aman. Satu tarikan napas terakhir. Bari menginjak persneling dan menarik gas motornya. Gigi satu, dua, tiga, empat. Ia terus memacu motornya. Mukanya berhantam dengan angin. Matanya berair. Rambutnya kering dan mengembang. Jantungnya berdegup semakin kencang. Seratus kilometer perjam. Seratus lima belas. Seratus dua puluh dan motornya mulai bedeper 1). Bari mengendorkan cengkraman tangannya, menurunkan kecepatannya sebab motornya mulai tak stabil dan sudah hampir sampai di depan gerbang kompleks tempat tinggalnya.



“Huahh.. seratus dua puluh!” Ia tersenyum puas, seakan baru saja menjadi seorang juara sekaligus memecahkan rekor kecepatannya. Ia mengarahkan motornya masuk ke dalam kompleks. Belum berapa lama, ia teringat sesuatu bersamaan dengan sebelah tangannya yang melayang menepuk jidat. “Aih, lupa aku belikan mamak bubur.”

Bari pun berbalik ke gerbang kompleks. Menoleh ke kiri dan ke kanan sebentar lalu menyeberang ke warung Mak Seli. Syukurlah warung Mak Seli bukanya awal, batinnya.

“Dari mana, Bar?” sapa seorang teman Bari, namanya Moses, anak juragan kayu. “perikanan, ha?”

“Iya.”

Ape can 2) kau buat pagi-pagi buta ke perikanan sana? Ngebut-ngebutan?”

Bari tersenyum saja. “Mak Seli, bubur bungkus dua ya. Satu tak pakai cabe.” Ia lalu duduk di bangku panjang.

“Nanti sore ke Tembok Anjongan yuk.” ajak Moses. “biasa, main sepeda.”

Bari terlihat girang. “Ayolah!” jawabnya lekas.


* * *


Tembok Anjongan bukanlah berbentuk berupa tembok seperti Tembok China, misalnya. Tembok Anjongan sebenarnya hanyalah jalan selebar satu meter yang terdapat di dalam Kampung Ambalau. Sebagian sudah dilapis semen, sebagian masih berupa tanah keras. Entah, kenapa anak-anak menyebutnya Tembok Anjongan alih-alih Tembok Ambalau. Jalan tersebut menghubungkan daerah Anjongan dengan Pauh, melewati Kampung Ambalau. Dan panjangnya pun tentu tak sepanjang Tembok China itu. Hanya sekitar lima kilometer. Tapi sepanjang Tembok Anjongan itu anak-anak menemukan arena bermainnya yang sangat seru. Setiap sore menjelang petang, mereka menggunakannya sebagai lintasan sepeda.

Sepanjang ‘lintasan’ Tembok Anjongan yang hanya lurus atau berkelok tapi tak memiliki cabang itu terdapat zona-zona yang berbeda di dalamnya yang membuat ‘petualangan’ semakin seru. Dari kilometer pertama ke kilometer sekian berisi rumah-rumah penduduk Kampung Ambalau, kilometer berikutnya memasuki zona pohon-pohon-seolah tengah melintasi hutan dan tentunya udara terasa sangat sejuk saat melintasi zona itu. Lalu zona ‘padang pasir’-anak-anak menyebutnya demikian sebab terdapat banyak pasir sisa pembangunan di sana-dan zona ini menurut mereka adalah zona yang paling berbahaya, sebab sepeda gampang oleng saat ban melintas di atas timbunan pasir dan tentunya dapat membuat mereka terjatuh. Zona berikutnya adalah zona tanjakan dan turunan-pada zona ini biasanya mereka serempak mengeluarkan suara teriakannya saat meluncur di turunan yang lumayan curam, lalu dengan cermat menarik rem saat mendekati tikungan tajam menuju zona berikutnya. Zona terakhir sekaligus menuju ‘garis finish’ dari Tembok Anjongan adalah zona tenang-tak ada tanjakan, turunan, ataupun timbunan pasir-mereka dapat mengayuh sepeda mereka dengan santai dan menarik napas sejenak, sebelum akhirnya tiba di jalan raya, menghadap hamparan sawah, dan disambut dengan sorot sinar senja yang kemerahan-menyiratkan untuk mereka gemilang kemenangan.

“Ayo, Din!” Bari berseru, ia sudah siap dengan sepeda gunungnya.

Empat orang temannya yang lain pun sudah bersiaga. Ada Moses si anak juragan kayu, Sarudin anak tukang ikan, Iswadi anak pemilik bengkel motor, dan satu-satunya perempuan di sana-Wita, anak pegawai negeri di kompleks pertanian, sama dengan ibunya Bari.

“Jangan lupa, hati-hati nanti waktu masuk daerah padang pasir, pandai belenggok 3) sendiri sepeda kau.” Sarudin yang paling tua memberikan nasihat kepada teman-temannya yang sudah tak sabar ingin memacu sepeda mereka.

“Tahu beh 4)..”, mereka serempak menjawab petuah Sarudin.

“Yang paling cepat sampai di Pauh, dia yang menang.” kata Iswadi.

“Tak boleh lepas azan magrib, siapa yang begitu tau sendiri akibatnya.” Wita melanjutkan. “akan kena tangkap hantu.”

Mereka memang punya kesepakatan yang agak aneh, tepatnya pada bagian ditangkap hantu. Bari sendiri yakin tak ada hantu di Kampung Ambalau, di Anjongan, di mana saja. Hantu hanya ada di televisi. Hantu yang tak memakai baju, hantu yang entah seperti lelaki entah seperti perempuan, hantu yang pakai kemeja dan dasi, hantu yang bergoyang sambil bernyanyi-nyanyi, banyak lagi. Tapi tidak di sini, Bari membatin. Ia tahu ‘kena tangkap hantu’ hanya alat untuk menakuti-nakuti agar memicu dirinya, dan juga teman-temannya yang lain, untuk memacu sepedanya dengan kencang agar tak ketinggalan di belakang.

“Ayooo!” Bari kembali berseru, kali ini lebih keras, penanda bahwa balapan sudah dimulai.

Bak pembalap sepeda profesional, mereka-terutama kaum lelaki-mengayuh sepedanya sambil merendahkan punggungnya. Sementara Wita tetap mengayuh dengan tegap. Mereka mengalami kesulitan saat hendak melewati zona pertama-zona rumah-rumah penduduk Kampung Ambalau-sebab banyak orang berlalu-lalang. Ada bibi-bibi penjual jamu, ada yang tengah mengangkat jemuran, ada yang sedang memberi makan anaknya, ada anak-anak berlarian, ada tukang penjual sayur, ada pula yang tengah menjemur jagung dan biji kopi. Dengan lebar jalan yang hanya sekitar satu meter tentu mereka harus bersusah-payah berkelit dan tak bisa memacu sepeda dengan cepat.

Akhirnya setelah beberapa menit menahan diri untuk tidak ngebut, mereka bisa lepas dari zona pertama dan masuk ke zona kedua, zona hutan. Jalan Tembok Anjongan sudah terlihat lapang dan mereka bebas memacu sepeda mereka secepat yang mereka inginkan. Bari tak mau menunggu lebih lama, ia langsung menyalip Sarudin dan Iswadi yang berada di depannya. Dengan sedikit manuver dan mengambil resiko untuk keluar jalur, ia sukses mendahului Sarudin. Sarudin terlihat mengumpat, dan Bari tertawa senang.

Beberapa menit berlalu, Bari merasakan perutnya mulas. Ia mau kencing. Dipelankannya sepedanya, dan ia menepi di dekat sebuah pohon. Ia pun buang air di sana.

“Oi! Apa kau buat, Bar!” Sarudin menyeru, ia menyusul Bari dan dengan segera melewatinya. “aku duluan! Hahaha..”

Bari menggerutu. Ah sialan, pikirnya. Ia buru-buru mengaitkan kancing dan menaikkan risleting celananya. Dengan sigap ia meraih sepedanya dan langsung menaikinya sembari mulai mengayuh lagi.

Di tengah jalan, ia dapat melihat sosok temannya, agak jauh. Ia mengayuh sepedanya semakin laju. Setelah dekat, ternyata Sarudin dan Iswadi tengah tergeletak. Sepertinya mereka baru saja tabrakan satu sama lain. Bodoh, batin Bari. Tapi ia girang karena saingan terberatnya sudah bisa dipastikan gugur dari pertempuran. Ia membiarkan Sarudin dan Iswadi duduk teraduh-aduh di tanah memegangi lutut dan siku sambil berusaha keras mengangkat sepeda mereka yang ringsek.

Aku akan menang, ucap Bari dalam hatinya.

Memasuki zona padang pasir, di belakang Bari ada Wita dan Moses yang cukup terlihat kepayahan menyusul Bari, tapi mereka sudah hampir dekat. Tiba-tiba Wita yang melintas melewati timbunan pasir oleng dan terjatuh bersama sepedanya, menimbulkan bunyi ‘gedebuk’ yang teredam.

Tak ada suara.

“Bar, berhenti bentar, kayaknya Wita pingsan itu.” Moses menghentikan sepedanya dan menoleh ke belakang.

“Ah udahlah, nanti kita jemput lagi ke sini habis kita sampai di garis finish.” Bari mengacuhkan, sebelah tangannya memberi isyarat kepada Moses agar melanjutkan pertandingan mereka.

Moses menoleh ke Bari, menoleh lagi ke Wita yang terkapar di atas pasir beberapa meter di belakangnya. Ia cemas. Wita tak bersuara, apalagi menangis. Ia pasti pingsan. Bagaimana ini, gumamnya dalam hati.

“Oi, Ses! Ayolah!” Bari berseru, keras.

Setelah membuang jauh-jauh rasa cemasnya karena Bari berkata mereka akan kembali lagi untuk menjemput Wita, juga Sarudi dan Iswadi di belakangnya, Moses pun melanjutkan perjalanan. Ia mengayuh sepedanya dan menyusul Bari.

Lepas zona padang pasir, mereka memasuki zona tanjakan dan turunan. Tak berselisih jauh, Bari memimpin sementara Moses membayang-bayanginya. Sampai di puncak tanjakan, Bari melihat di bawahnya turunan yang cukup curam, begitu juga dengan Moses. Ini kesempatanku mengejar dan meninggalkan Bari, Moses berkata kepada dirinya sendiri.

Tanpa disadari Bari, Moses menyalipnya secara tiba-tiba. Ia mengayuh sepedanya begitu kencang padahal jalanan menurun dan lumayan curam. Menyebabkan kecepatan sepedanya meningkat berkali-kali lipat. Suara angin sampai berdenging di telinganya.

“Hahaha.. aku menang, Bar. Aku menang!” Moses berseru kegirangan. Ia tak sadar di depannya ada tikungan tajam. Ia pun lengah dan terlambat menarik tuas rem hingga tergelincir jatuh ke dalam jurang. Tubuhnya berguling-guling, begitu pula sepedanya.

Bari melihat kejadian itu, dan entah kenapa ia malah merasa senang. Saingannya habis semua. Ia menang.


* * *


Belum lama tadi azan magrib berkumandang. Musholla di Kampung Ambalau ramai dipadati jemaah. Mereka tak hanya shalat magrib, tapi juga menunaikan shalat jenazah.

Di tempat lain tak jauh dari musholla, ada yang sedang betekak 5).

“APA KAU BUAT DI HUTAN SANA?!” sergah Wak Amu, salah seorang warga Kampung Ambalau.

“Tak ada, cuma balapan sama kawan-kawan.” jawab Bari.

“Bohong! Kau pasti berbuat sesuatu sampai mereka semua celaka dan satu temanmu mati.”

Bari terdiam sebentar. Ia lalu tertunduk, melengos.

“Aku kencing di pohon, Wak.”

“Sudah kau ludah kencing kau itu?!” Wak Amu menatap Bari dengan amarah dan curiga.

Bari menggelengkan kepala, tangannya seakan mati rasa. Ia lupa kalau kencing sembarangan dan tak ada air untuk menyiram, bekas kencing itu harus diludah, agar tak menimbulkan bala. Biasanya ia tak pernah luput dengan hal-hal semacam itu, meski ia tak pernah sekalipun percaya. Tapi kali tadi ia benar-benar khilaf sebab tak ingin tertinggal oleh teman-temannya di lintasan Tembok Anjongan. Ia ingin menang dalam balapan itu.



* * *


Bari menarik gas motornya. Laju, laju, dan kian laju. Ia tahu karena kebodohannya, salah seorang sahabatnya sudah memasuki zona lain di Tembok Anjongan. Zona tersembunyi. Ia tak ingin ketinggalan. Segera, batinnya. Segera, ia akan sampai juga di sana, bersama dingin udara pagi buta, secukupnya kabut, dan suara klakson truk pengangkut kayu yang menyusul di belakangnya.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar