HASIL GUA NGEBLOG DAN SEDIKIT PERCAMPURAN BLOG LAIN

Selasa, 26 Februari 2013

Logika Tak Suka Cinta

      Sudah lama aku hidup dengan logika. Bagiku ia sahabat terbaik sepanjang masa. Bahkan saat aku masih di kandungan ibuku pun barangkali ia sudah berbaring turut melengkung di sebelahku. Ikut menendang-nendang perut ibuku, kadang malah iseng menyenggol-nyenggol bahuku.

Aku dan logika tak pernah terpisah. Nyaris dua puluh tahun aku berjasad dan ber-ruh, logika tak pernah sedikitpun bergeser letak dariku. Nyaris selama itu pula logika selalu membantuku, bermain-main dalam jasad dan ruh-ku, tapi tak pernah meninggalkanku barang sekerjap waktu sekalipun.

Ia berlari saat aku terburu-buru mengejar waktu, tapi ia tidak ngos-ngosan. Ia membungkuk saat aku tertekan dan terpuruk, tapi ia tidak sayu dan layu. Ia tegap saat aku dilanda senang, tapi ia tidak melayang. Ia siaga saat aku mengernyitkan jidat dan memicingkan mata jika ada seseorang yang dengan tidak sopannya menyenggolku. Namun ia tidak berteriak. Itu logika ku. Logika yang begitu kupuja sepenuh hidupku. Yang selalu tahu apa yang harus aku kerjakan ketika aku sedang dilanda apapun. Yang tak pernah salah memberitahuku apa yang harus kulakukan.

Begitu bangganya aku dengan logika ku. Sampai aku heran sekali melihat orang yang begitu mudahnya tersulut api amarah hanya karena wajahnya tiba-tiba ditampar orang di jalan raya. Betapa gampangnya orang menangis mengharu-biru hanya karena ditinggal wafat oleh sanak keluarganya. Betapa durjanya orang bermuram kala tidak mendapat pekerjaan setelah seharian mendatangi berbagai lowongan.

Aku hanya heran di mana logika mereka. Tidakkah mereka juga punya logika, sama sepertiku. Tapi kenapa mereka tidak bertingkah sepertiku. Aku tidak pernah marah ketika orang mencaci-makiku, bahkan meludahiku tanpa alasan yang jelas sekalipun. Aku tidak pernah menangis tersedu-sedu ketika ayah dan ibuku pergi di depan mataku. Aku tidak pernah murung ketika seharian harus berjalan kaki keluar-masuk pintu tanpa mendapat hasil. Karena aku punya logika. Logika ku yang begitu kupuja. Logika ku yang selalu memberiku alasan kenapa semua itu terjadi. Logika yang selalu bisa membuat aku mengerti apa yang kulalui dan kuhadapi dalam hidupku.
- - o - -
Aku bangga dengan logika. Masih bangga. Masih kupuja. Hingga aku bertemu dengan seorang wanita yang menyapaku di dunia maya. Tidak pernah sekalipun kami bersua. Hanya perbincangan ringan lewat kata-kata yang muncul di layar komputer saja. Aku sapa. Dia sapa. Sedikit basa-basi, dan kamipun larut dalam canda tawa yang membuatku lupa dengan logika.

Kadang aku ditemani dengan secangkir kopi hangat. Sambil berbincang-bincang dengan wanita di media. Dia juga begitu hangat menyapa dan berbicara kepadaku, seperti secangkir kopi yang setia menemaniku setiap aku bersua dengannya-tentu di ranah maya. Dia sungguh pandai membuatku terlena dalam tiap kata nya. Tidak ada yang membuatku begitu bersemangat melalui hari-hariku selain menghabiskan beberapa jam berbincang-bincang dengannya. Wanita itu selalu bisa membuatku tersenyum. Tak pernah kehabisan akal untuk membuatku tertawa terpingkal-pingkal. Hingga satu hari aku mendapat nilai C di salah satu mata kuliahku-yang membuatku merasa ingin langsung mendatangi dosen pengampunya dan mengacak-ngacak wajahnya yang menyebalkan, wanita itu bisa membuatku lupa bahwa indeks prestasiku jatuh gara-gara nilai mata kuliahku itu.

Aku memuja wanita itu. Begitu bangganya aku dengan dia. Tidak ada yang membuatku begitu gundah gulana kecuali sehari tak mendapatkan kabar darinya. Tidak ada yang membuatku sangat gelisah dan merasa ingin mati saja, selain saat malam itu aku membuatnya mengeluarkan air mata. Oh, tidak. Aku telah berbuat salah. Salah yang sangat besar. Begitu besarnya hingga lebih baik aku dihukum dijadikan buta saja oleh Tuhan, daripada aku harus melihat wanita itu memberikan wajah dengan lelehan air mata.

Aku melihat air mengalir dari kedua bola matanya yang bulat dan indah. Sedikit berkilau karena basah oleh airmata, yang masih saja terus mengalir, sudah lewat beberapa belas menit padahal. Ia terus saja mengeluarkan air mata. Aku harus apa. Aku harus bagaimana. Apa yang harus aku lakukan agar wanita itu tidak mengeluarkan air mata. Aku tidak bisa melihat ia seperti itu. Karena saat ia mengeluarkan air mata ia tidak bisa tertawa ria. Ia tidak bisa membuatku tersenyum, apalagi terpingkal-pingkal. Aku harus bagaimana.

Entah kenapa, sejak itu logika ku jarang muncul. Aku cari-cari dia. Aku ingin sekali bercerita tentang wanita yang kukenal lewat ranah maya. Aku ingin sekali berbagi dengan logika. Karena memang aku tak pernah lupa menceritakan apapun yang terjadi dalam hari-hariku kepada logika ku.

Aku ingin bertanya pada logika apa yang harus kulakukan terhadap wanita itu. Karena aku ingin wanita itu tidak meninggalkanku. Aku ingin wanita itu selalu menemaniku berbincang-bincang kapanpun masih hidup waktu. Aku tak mau wanita itu berhenti membuatku tertawa. Aku tak ingin dia pergi dari pikiranku. Aku tak ingin dia mengeluarkan air mata.

Aku ingin minta saran dari logika. Karena logika ku tak pernah salah. Ia selalu tahu apa yang harus kulakukan.
- - o - -
Hari berganti. Logika ku belum juga bisa kutemui. Aku gelisah. Semakin detik waktuku berlalu semakin resah. Aku seperti linglung. Berjalan mondar-mandir tak tentu dalam kamarku yang ikut murung. Aku bingung. Wanita itu masih mengeluarkan air mata, sementara logika ku juga lenyap entah ke mana.

Aku letih. Aku berbaring saja di kasurku yang sekarang jadi tak begitu nyaman. Mungkin karena apa yang sedang aku alami sekarang, membuat setiap anggota badanku bertambah beban.

Aku pejamkan mata dengan beribu gundahku. Dalam pandanganku yang tak lagi memandang aku masih mencari-cari logika. Kucari-cari ia dalam kelopak mataku yang sudah mengatup menutup bola mataku. Aku bergumam, berharap logika muncul dan berbaring di sebelahku. Karena aku begitu butuh ia sekarang. Sekarang juga. Aku mau bertanya tentang apa yang kualami dengan wanita itu.

“Itu cinta.”       

Aku tergagap. Mataku membuka sekejap, mengernyitkan jidat dan memicingkan mata. Itu suara logika! Logika datang. Ah, betapa senangnya aku. Kini aku bisa bercerita panjang lebar dengannya. Aku bisa menceritakan tentang wanita itu kepadanya.

“Kau mau bertanya tentang kau dan wanita itu kan? Kau sedang bingung kan?”

Aku mengangguk cepat. Seperti yang kuduga. Logika selalu tahu apa yang aku alami. Tentu saja, ia juga tahu apa yang harus aku lakukan terhadap apa yang aku alami tersebut. Aku sekarang bersemangat, bersemangat untuk mendengar sarannya terhadap aku dan wanita itu.

“Itu namanya cinta, teman.”
Aku termangu. Aku memandang logika dengan terheran. Aku belum pernah dengar itu.. ‘cinta’.
“Kau tahu kenapa aku selalu tidak ada bersamamu, setiap kau bertemu dan berbincang panjang-lebar dengan wanita itu?” Tanya logika, yang langsung menjawab pertanyaannya sendiri tanpa menunggu aku mengeluarkan sepatah katapun dari bibirku yang tiba-tiba jadi kelu. “..karena aku tau cinta akan datang padamu.”

Aku terdiam saja. Memandang logika lekat-lekat seolah bertanya padanya, ‘kenapa?’.
“Oh ya aku lupa”, logika menggaruk-garuk kepalanya dengan malas. “Kau belum pernah melihatku bertemu dengan dia ya. Asal kau tahu saja, kami tidak begitu berteman akrab. Aku tidak suka dengan cinta. Kau tahu, setiap kami berjumpa kami selalu bertengkar. Jadi lebih baik aku pergi menyingkir saja darimu, sementara cinta menemanimu.”

Aku memberikan pandangan memelas pada logika. Ia tahu bahwa aku sedang bertanya padanya, ‘lalu aku harus bagaimana?’.
“Jangan bertanya padaku tentang cinta, teman. Aku sudah bilang aku tidak suka dia. Lagipula kau tidak perlu aku untuk membahas soal cinta. Aku tidak bisa sekalipun mengerti dia. Begitu juga dia, tidak pernah sedetikpun bisa mengerti aku.” Jawab logika dengan nada ingin cepat-cepat menyudahi perbincangan ini.

Aku tertunduk. Logika tidak pernah seperti ini padaku. Ia selalu tahu, dan selalu bisa menolongku kapanpun aku butuh. Tapi kini ia jadi begini. Ia malas berurusan denganku saat ini. Hanya karena ia tidak suka dengan cinta.

“Oh ya, satu yang perlu kau ingat teman. Kau tidak perlu seperti itu karena aku meninggalkanmu.” Kata Logika lagi. “.. karena cinta akan lebih sering meninggalkanmu daripada aku.”
Lalu logika pergi lagi dariku. Tanpa berbicara lagi, ia lenyap dalam sejuta rasa cemasku.

Dari Kau, Dari Aku
entah seberapa rumit kenangan bisa kau buat sebelum aku lupa bagaimana caranya mengingat. aku tak bisa lagi melafalkan luka semenjak kau hapus seluruh langkah di dadaku yang telah sedemikian dalam terpahat. tak ada yang begitu rahasia dan membingungkan dari tiap rasa kecewa sebab kita sudah bersepakat akan membunuh harapan masing-masing. dari yang terkecil. dari yang paling samar.
entah seberapa sederhana perpisahan bisa aku jelaskan setelah kau ingat bagaimana caranya melupakan. kau begitu fasih mengeja setiap kesalahan semenjak kita bertemu untuk mempelajari apa saja yang pernah kutulis di hatimu. selalu ada yang tersembunyi dan terlewat dari tiap perbincangan sebab kita tak pernah berjanji untuk memahami masa lalu dan sejarah pilu masing-masing. dari yang pernah terucap. dari yang masih tersimpan.

Di Barito Dalam Suatu Sore

sore di Barito, tak ada angin, hanya langit kuning muda
dilapis iring-iringan awan yang pecah serupa napasku
saat memanggilmu

sore di Barito, kolam ikan perlahan kita kunjungi padahal senja sedang lupa kepada jeda. Mungkin karena jeda sedang bermain di antara kita

sore di tempat ini tak meneduhkan hatiku. Hanya menemaram di mata, memudar di dada, menghangat di ujung-ujung jemari. Kaukah itu?

sore seperti ini terlalu ramai, semacam lagu pertamayang tak ingin kunyanyikan tapi kau terlanjur membuatnya demikian merdu

dan sore itu aku berkata “Maukah kau menjadi pacarku?”

Begini senjaku


begini senjaku, Intan. saat suka tak lagi mengenal waktu dan penantian terasa abadi, sementara merah bukan lagi darah tapi sepi yang enggan pergi, mungkin di sebuah tempat ini aku berdiri kau akan menyaksikan satu-dua kalimat antah berantah mengangkut pulang kenangan entah milik siapa, milik aku yang telah lama tenggelam di dasar diammu, atau milikmu yang telah terbang bersama serak suaraku

mengucapkan perpertemuan yang kita tau sama-sama berat
mengucapkannya lirih dalam satu pelukan
yang tak bisa lebih erat

begini senjaku, Intan. mungkin di persinggahan ini kau tak akan bertemu aku, hanya menghitung detik demi detik dengan lancang berkejaran dan mengharapkannya mati atau beku. tapi ada beberapa pertemuan yang tak boleh terjadi karena luka setelahnya akan membuat sepi di bibir kita saling mengucap benci.

biarlah hening yang kau dan aku simpan berlayar dalam kapal yang berbeda
biarlah cahaya yang jingga menyala di matamu pergi, Intan
itu bukan senja kita

Senin, 11 Februari 2013

Lestarikan Penjual Nasi Uduk dan Lontong Sayur

Kutipan gua di atas memang sedikit gila, stoooop! itu bukan kata kata gua melainkan sebuah PM di status BBM temen gua yang buat dan gua coba ngembangin disini, kenapa? yaps itu jawabnya karena gua mau (Para Tukang Nasi Uduk dan Lontong Sayur Dilestarikan) karena apa sekarang memang era modern sarapan juga ngaruh dalam kehidupan!


Ini foto penjual nasi uduk dan lontong sayur yang selama pagi akhir akhir ini jarang keliatan ....!












Kemana mana para penjual penjual itu?
Naik Haji terus ga pulang pulang?
Cuti ga dagang bersama?
Atau udeh males jualan karena peminat sarapan murah meriah ini menurun?
Ya benar sekali yang opsi yang ketiga.

Bagi gua ini sebuah penyesalan... kenapa coba mesti berkurang peminatnya, padahalkan 5000 udeh lengkap pakai nasi, bawang, tahu/kentang, kerupuk, telor.
Begitu juga lontong sayur, apa kurang panjang lontongnya? atau kurang keras lontongnya, ataaaaaau bentuk lontongnya yang salah? lontong ya lonjong kalau ga lonjong yaaaa... HAHAHAHAHA

Tetapi ya sudahlah, tadinya gua mau jelek jelekin sarapan produk luar tapi ngeri di cekal :)

Minggu, 10 Februari 2013

Tak apa kalau kita tidak seperti lollipop




Tak apa, kisah kita tidak seperti lollipop.
Lollipop terlalu manis, aku takut gigi kita berlubang.
Sama seperti cinta kita, jangan terlalu banyak pemanis.
Sedikit pahit tak apa, karena hidup tidak selalu manis.

Tak apa, kisah kita tidak seperti lollipop
Lollipop terlalu cantik, Aku hanya ingin biasa saja.
Jangan terlalu cantik. Yang cantik kadang membosankan.

Tak apa, kisah kita tidak seperti lollipop
Lollipop terlalu banyak yang ingin memiliki.
Namun, aku hanya ingin mengukir kisah kita ini,
cuma kita saja yang miliki dengan semua resep rahasia kita

Tak apa, aku ulangi sekali lagi tak apa..
Sungguh tak apa.
Tak ada kisah yang sempurna, sesempurna lollipop dibuat. 

Karya: Alipeh Temen SMP gue : @alifalipeh

Suara hujan malam ini


Suara hujan malam ini berbeda
Karena suara ponsel dan nada nada indah keluar dari sana

Suara hujan malam ini berbeda
Karena suara nyanyian para penyanyi yang selalu kau dengar

Suara hujan malam ini berbeda, berbeda sekali dengan apa yang ku alami ketika aku tak punya ponsel, nada nada, dan nyanyian dari para penyanyi

Sabtu, 09 Februari 2013

Di Anjungan, Suatu Sore


sore di Anjungan, tak ada angin, hanya langit kuning muda
dilapis iring-iringan awan yang pecah serupa napasku
saat memanggilmu

sore di Anjungan, kolam ikan perlahan mengering
padahal hujan sedang lupa kepada jeda. Mungkin
karena jeda sedang basah di antara kita

sore di tempat ini tak meneduhkan hatiku. Hanya
menemaram di mata, memudar di dada, menghangat
di ujung-ujung jemari. Kaukah itu?

sore seperti ini terlalu sepi, semacam lagu terakhir
yang tak ingin kunyanyikan tapi kau terlanjur
membuatnya demikian merdu

Lukisan Kali dan Pohon Tua


Berdiam dalam kamar yang gelap ini, membuatmu bisa merasakan kesunyian. Kau bahkan dapat meresapinya. Menemuinya dalam berbagai hal yang terjadi sepenangkapan indrawi. Terutama telinga. Sebab dalam kesunyian, sesungguhnya kau bisa mendengar hingar-bingar yang merdu. Seperti beberapa hal yang sering kau ceritakan kepadaku. Dan aku, tentu saja, mendengar ceritamu lewat kesunyian yang sama.



Suara Jangkrik

Kau senang sekali mendengarkan suara jangkrik. Setiap malam, kau seperti mendengar mereka sedang menggelar konser yang sangat ramai. Penontonnya, rombongan angin dan barisan ilalang. Paduan suara jangkrik-jangkrik itu mengambang di udara lalu mengalir, menyusup lewat celah jendela kamarmu. Apa yang mereka senandungkan setiap malam, tanyamu. Mereka menjawab, hanya dengan dendangan.

Dendang jangkrik di malam hari itu seakan membawakan kembali kepadamu, kenangan yang indah perihal kisah cinta masa lalu. Tentang seorang gadis. Seorang gadis belia yang datang kepadamu, membawakan sekeranjang jangkrik yang bernyanyi, merdu sekali. Sejak itu kau mulai suka berdiam sendiri di dalam kamar yang gelap, mendengarkan dengan khidmat suara jangkrik-jangkrik di luar.

Cinta yang hangat dan menyenangkan, kau mengingatnya demikian. Meski kau tak bisa menepis bahwa kisah itu adalah kisah yang membuatmu menjadi seperti sekarang. Sendiri. Putus asa.

Suara itu kian merdu di telingamu. Seperti keriangan angin yang berkesiur mencari kekasihnya. Kau memejamkan mata. Meresapi setiap nada. Sungguh, ini adalah rangkaian melodi yang paling indah yang pernah kau dengar. Seindah wajah gadis itu. Seindah suara yang meluncur dari bibir lembabnya.

Tapi lama-kelamaan- terutama di malam ini, malam yang kau yakini sebagai malam terakhirmu- suara jangkrik yang merdu itu berubah jadi lagu yang sumbang. Menyayat-sayat telinga dan membuat perasaan tak sedap. Terdengar seperti lagu pengantar kematian. Sedih dan muram. Kelam. Suram. Membuat kamarmu yang sudah tak berpenerangan itu terasa semakin gelap dan sempit. Menyusut dan menghimpit tubuh kurusmu.

Kau pun teringat lagi, kenangan itu. Kenangan akan kisah kasih yang ditentang. Cinta yang terlarang. Kau sebenarnya tak ingin mengingatnya. Tapi kau suka mendengarkan jangkrik-jangkrik itu, maka kau terpaksa berpapasan lagi dengan ingatan-ingatan yang lalu, yang memedihkan.

Kalau saja pertemuan itu tak terjadi, maka perpisahan ini pun tak perlu terjadi.

Kau ingin menutup jendela saja. Agar suara jangkrik itu terhalau.


Hujan Seharian

Sejak subuh tadi hingga malam ini hujan tak kunjung berhenti. Memang tak begitu deras, tapi membuat suasana menjadi kian sepi. Yang ada hanya suara hujan dan hujan. Kau jadi tak bisa keluar. Tapi kau memang tak ada kehendak untuk pergi. Kemana lagi tujuan bila kau sudah dekat dengan kematian? Hanya satu tempat terakhir. Dan hujan seakan mengerti.

Mereka sesungguhnya hendak mengantarmu.

Tak perlu, katamu. Tak ada yang bisa menemani kesedihan. Tak satupun. Kecuali kehangatan yang mengalir lewat ujung-ujung jemarimu saat tak sengaja ia, gadis itu, meletakkan telapak tangannya sangat dekat dengan telapak tanganmu. Dekat, tapi tak melekat, hanya bersentuhan sekejap. Sekejap, namun kehangatannya menjalar dengan cepat dari jemarimu, tanganmu, ke lehermu, dadamu, ke seluruh tubuhmu.

Apalagi saat gadis itu memalingkan wajahnya kepadamu. Menatapmu dengan sepasang matanya yang bulat dan berkaca-kaca. Saat ia tersenyum, kau merasa seperti ada kupu-kupu terbang di dalam perutmu. Dan saat ia mengucapkan namanya, kau tahu, itulah saat-saat paling membahagiakan dalam hidupmu.

Ketika itu hujan tak pernah turun. Langit senantiasa terang seperti kulit wajah gadis itu. Maka bila hari ini hujan tak kunjung berhenti. Kau tahu, inilah saatnya benar-benar mengakhiri bayangan dan kenangan menyakitkan itu.


Debur Kali

Di situlah tempat terakhir kali kau melihatnya. Di sebuah kali di belakang rumah. Kau tak tahu saat itu kau melihatnya sebagai mimpi atau kenyataan. Kau pun tak bisa membedakan. Yang jelas kau begitu bahagia. Sejak berhari-hari gadis itu pergi, kau bisa menemuinya lagi.

Kau bergegas menghampirinya. Suara debur kali itu menelan suaramu hingga gadis itu tak mendengar kau memanggilnya. Sesampainya di pinggir kali, kau mendekat kepadanya. Kau melihat wajah gadis itu begitu murung. Apa gerangan yang terjadi, batinmu.

“Kau seharusnya tak menemuiku.” kata gadis itu, tanpa menoleh kepadamu.

“Apa maksudmu? Kau yang memanggilku. Lewat suara debur kali ini.”

“KAU BODOH!!”

“Apa…….”

“Maaf..”

“Ada apa sebenarnya?”

“Kita tak boleh bertemu lagi.”

“Kenapa?”

“Aku harus kembali ke suamiku.”

“Tapi kenapa? Bukankah kau bahagia bersamaku? Seperti aku juga bahagia bersamamu.”

“Tidak, bahagia saja tidak cukup. Ini tidak benar. Kau tahu itu sedari awal.”

“Apa yang lebih benar dari kebahagiaan, Joan? Katakan padaku.”

“………”

“Katakan, Joan! Kau mencintaiku, bukan?!”

Gadis itu menoleh kepadamu. Kedua bolamatanya yang bulat telah basah.

“Aku mencintaimu.”

Ia lalu memelukmu. Erat sekali. Kau balas mendekapnya. Erat sekali. Debur kali menelan pelukanmu dan pelukannya, mengalirkan mereka hingga jauh. Kau dan gadis itu bagaikan dua arus kali yang berdebur suaranya sepanjang malam. Debur yang menenggelamkan perasaan kehilangan.

Semenjak itu, kau sering mendengar debur kali di belakang rumah, tak jauh dari kamarmu, seketika berubah menjadi suara gadis yang memanggil-manggil namamu. Kau menutup telinga. Ini suara yang paling tak ingin aku dengar, katamu.

“Pergilah! Pergilaaaahhh!!”


Daun-daun di Pohon Tua

Di permukaan kali itu, daun-daun sering jatuh. Daun-daun yang berasal dari sebatang pohon tua yang tumbuh di tepi tubuh kali itu. Entah kenapa- mungkin karena kesunyian kian pekat dan mendekap- kau bisa mendengar benturan daun-daun itu di tubuh kali. Kau bahkan bisa mendengar daun-daun itu mengucapkan sesuatu kepada pohon tua yang ditinggalkannya, juga kepada arus kali yang kelak akan membawanya, entah kemana, mungkin ke surga. Surga para daun yang gugur.

Daun-daun yang jatuh di kali itu, serupa dirimu. Tak kuat (atau tak ingin kuat?) lagi bertahan, lalu ingin menjatuhkan diri saja. Tapi kau tak tahu ingin menjatuhkan dirimu di mana. Mungkin kesunyian yang berdenging di telingamu bisa memberitahumu.

*

Dalam pejammu, kau melihat jangkrik-jangkrik itu, hujan yang tak kunjung berhenti, debur kali, dan sebatang pohon tua yang melepaskan daun-daun dari tubuhnya. Kau melihatnya menjadi satu, tertata rapi di atas sebuah kanvas. Seperti lukisan yang sangat indah namun tak terjelaskan. Seperti rasa perih dan kehilangan yang tersamar oleh cinta yang sebentar.

Dalam gelap dan sunyi, aku mendengar ceritamu. Aku tersenyum, saat kau bercerita kepadaku semua tentang aku. ***



akankah kita bertemu dalam ricik air kali
di belakang rumah, saat arusnya tak pernah
mengizinkan kita mengalir sebagai daun
yang jatuh dari pohon tua di sisi tubuhnya

akankah kita terjalin sebagai dua arus kali
yang berdebur suaranya sepanjang malam,
ketika derik jangkrik melarang kita bicara
dan pohon tua menjerat kita dengan belit